Blog

  • Kemerdekaan Timor Leste

    Kemerdekaan Timor Leste

    Sejarah Timor Leste berawal dari kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugis mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuatlah Perjanjian Lisbon (1859) dimana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Secara resmi pada tanggal 17 Juli 1909, pemerintah Portugis mengeluarkan keputusan kerajaan yang mengakui wilayah Timor Portugis sebagai bagian kerajaannya “reinos”.Jepang kemudian menguasai Timor Portugis dari 1942 sampai 1945, tetapi setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya

    Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Anyelir di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi diri ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa “jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000”. Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih  dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

    Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pengeboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, tetapi Tim Palang Merah Internasional yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.

    Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan  pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.

    Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.

    Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILIN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati di tangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan ada pula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.

    menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jenderal Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.

    Amerika Serikat dan Australia “merestui” tindakan Indonesia karena takut menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.

    Namun PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk  memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur. Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama  dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi misinya secara drastis.

    Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai “balas budi” atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih krisis lagi dalam hal ekonomi.

     

    Sejarah Lepasnya Timor Leste dari Indonesia

    Dimulai pada tahun 1520, Portugis menjajah yang saat itu dinamai Timor Portugues, disusul oleh Jepang dan Belanda yang berusaha menguasai wilayah . Belanda dan Portugis akhirnya membuat Perjanjian Lisbon 20 April 1859, yang mengatur batas-batas wilayah koloni Belanda dan Portugal di Hindia Belanda dan Timor Portugis.

    Pada tahun 1974, rezim Estado Novo Portugal tumbang dan berujung pada pendirian partai politik Fretilin. Tujuan terbesar Fretilin yang berhaluan Marxisme adalah memerdekakan Timor Portugues dari penjajahan.

    Pada 30 November 1975, Timor Leste merdeka dari jajahan Portugis. Namun hanya selang dua hari, tiga partai politik pesaing Fretilin, yaitu Partai KOTA, UDT, dan APODETI yang pro integrasi Indonesia mendeklarasikan integrasi ke Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Deklarasi Balibo.

    Deklarasi ini menjadi sebuah legitimasi Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto yang saat itu menentang keras gerakan komunisme untuk menginvasi  di bawah rezim Fretilin yang berhaluan kiri. Operasi ini disebut sebagai Operasi Seroja.

    Operasi militer penaklukan  ini mendapatkan kecaman dari dunia internasional atas kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia. Pada tahun 1976,  masuk ke Indonesia sebagai provinsi baru bernama Timor Timur.

    Di bawah kepemimpinan B.J Habibie setelah diturunkannya rezim Soeharto, diadakan referendum pada 30 Agustus 1999 untuk menentukan apakah Timor Timur lepas dari Indonesia atau tidak.

    Hasil referendum menyatakan mayoritas rakyat Timor Timur ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Terjadi gejolak konflik hingga pasukan penjaga perdamaian PBB untuk Timor Timur (INTERFET) turun tangan. Akhirnya pada 20 Mei 2002, Timor Timur mendapat pengakuan dunia internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste.

    Fakta-fakta 

             1.Bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja

    Timor Leste menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja. Sementara bahasa sehari-hari menggunakan bahasa Tetun yang merupakan bahasa daerah, dan bahasa Portugis.

     

    1. Provinsi ke-27 Negara Kesatuan Republik Indonesia

    Timor Leste pernah menjadi wilayah jajahan bangsa Portugis. Sebelum menjadi negara merdeka dan diakui dunia internasional pada 20 Mei 2002, Timor Leste bernama Timor Timur yang merupakan bagian dari provinsi ke-27 di Indonesia pada tahun 1976.

     

    1. Mata Uang Timor Leste

    Timor Leste masih menggunakan mata uang dolar AS dan koin Centavo  dengan pecahan 1, 5, 10, 25, 50. 100 Centavo Timor Leste setara dengan 1 dolar AS. Selain itu, masih ada yang menggunakan rupiah untuk berdagang di sekitar perbatasan Timor Leste dan Indonesia.

     

    1. Total Penduduk Timor Leste

    Pemerintahan Timor Leste melalui Direktorat Jenderal Statistik Kementerian Keuangan telah melakukan sensus penduduk tahun 2022. Dari laporan sementara, hasil sensus penduduk 2022 menunjukkan angka populasi sebanyak 1.340.434 jiwa, naik 1,8% dari tahun 2021.

  • Kemerdekaan Singapura

    Kemerdekaan Singapura


    Singapura
    adalah peranan yang kecil di dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara sampai Sir Stamford Raffles mendirikan sebuah pelabuhan Inggris di situ. Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, Singapura telah berubah menjadi pelabuhan yang amat strategis mengingat letaknya yang ada di tengah-tengah jalur perdagangan di antara India dan Cina yang akhirnya menjadi antara pelabuhan yang terpenting di dunia sampai hari ini. Semasa Perang Dunia II, Singapura telah diduduki oleh tentara Jepang dari tahun 1942 hingga tahun 1945.

    Selepas perang, penduduk setempat dibenarkan menjalankan pemerintahan sendiri tetapi masih belum mencapai kemerdekaan. Seterusnya pada tahun 1963 Singapura telah bergabung dengan Tanah Melayu bersama-sama dengan Sabah dan Sarawak untuk membentuk Malaysia. Tetapi Singapura dikeluarkan dari Malaysia dan menjadi sebuah republik pada 9 Agustus 1965.

    Sejarah Silam Singapura

    Referensi awal untuk nama Temasek (atau Tumasik) ditemukan di Nagarakretagama, sebuah pidato bahasa Jawa yang ditulis pada tahun 1365, dan sumber Vietnam dari periode waktu yang sama. Namanya mungkin berarti “Kota Laut”, yang berasal dari bahasa Melayu tasek, yang berarti “laut” atau “danau”.

    Dipercaya bahwa Singapura merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Melayu sebelum diduduki oleh Sir Stamford Raffles, seorang gubernur jenderal Imperium Britania. Berdasarkan tulisan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang menyatakan ketika Singapura dibersihkan, bukit yang terdapat di situ telah dikenali sebagai ”bukit larangan”, dan terdapat banyak pohon buah yang ditanam di situ. Ini menunjukkan terdapat sebuah pusat administrasi.

    Selain itu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi turut menyatakan ditemukannya sebuah batu bersurat yang mempunyai ukiran tulisan yang tidak dikenali dan telah kabur. Prasasti Singapura itu menunjukkan Singapura telah menjadi sebuah pusat administrasi sejak silam lama sebelum tibanya pihak Inggris.

    Malangnya prasasti itu telah dimusnahkan tidak lama selepas tibanya Inggris oleh seorang insinyur Inggris. Namun, terdapat nota mengenai sebuah salinan tulisan tersebut yang telah diantarkan ke London, tetapi gagal ditafsirkan. Sekiranya catatan salinan tulisan itu dapat dijumpai kembali, ia bisa memberikan perkiraan kapan prasasti itu diukir melalui terjemahan ataupun sekiranya masih gagal diterjemahkan, melalui jenis tulisan yang digunakan.

    Pendirian Singapura Modern (1819)

    Di antara abad ke-16 dan kurun ke-19, Kepulauan Melayu secara berangsur-angsur menjadi milik penjajah dari Eropa. Permulaan penjajahan dari Barat bermula saat Portugis tiba di Melaka pada tahun 1509. Manakala pada kurun ke-17, Belanda telah menguasai kebanyakan pelabuhan utama di Kepulauan Melayu. Pihak Belanda telah memonopoli semua perdagangan rempah-rempah yang pada saat itu merupakan bahan perdagangan yang penting. Penjajah Eropa yang lain termasuk Inggris, cuma mempunyai hak perdagangan yang kecil.

    Pada tahun 1818, Sir Stamford Raffles telah dilantik menjadi gubernur di salah satu pelabuhan Inggris yaitu di Bengkulu, Sumatra. Raffles percaya bahwa Inggris perlu mencari jalan untuk menjadi penguasa dominan di rantau ini. Salah satu jalan adalah dengan membangun sebuah pelabuhan baru di Selat Malaka. Pelabuhan Inggris yang sudah ada seperti Pulau Pinang terlalu jauh dari Selat Melaka sedangkan Bengkulu menghadap Selat Sunda.

    Pada tahun 1818, ia telah berhasil menyakinkan East Indies Company (EIC) untuk mencari pelabuhan baru di rantau ini.

    Raffles tiba di Singapura pada 29 Januari 1819. Dia menjumpai sebuah perkampungan Melayu kecil di muara Sungai Singapura yang diketuai oleh seorang Temenggung Johor. Pulau itu dikelola oleh Kesultanan Johor tetapi keadaan politiknya tidak stabil. Pewaris Sultan Johor, Tunku Abdul Rahman dikuasai oleh Belanda dan Bugis. Raffles kemudian mengetahui bahwa Tengku Abdul Rahman menjadi sultan hanya karena kakandanya, Tengku Hussein tidak ada semasa ayahnya meninggal dunia. Menurut adat Melayu, calon sultan perlu berada di sisi sultan sekiranya ingin dilantik menjadi sultan.

    Tengku Hussein. Perjanjian ini menjadi sah pada 6 Februari 1819.

    Perkembangan Awal (1819-1826)

    raffles kembali ke Bengkulu tidak lama kemudian selepas menandatangani perjanjian dengan Johor. William Farquhar mengetuai koloni baru Inggris ini dengan bantuan pasukan laskar Inggris.

    Di balik masalah-masalah yang dihadapinya Singapura berkembang pesat karena statusnya sebagai sebuah pelabuhan bebas. Pedagang-pedagang Arab, Tionghoa dan India menjadikannya tempat persinggahan mereka.

    Strait Settlements (1826-1867)

    Pendirian Singapura oleh Raffles mendapat masalah saat kerajaan Belanda menuduh Inggris mencampuri kawasan naungan pengaruhnya. Pada mulanya kerajaan Inggris dan Perserikatan Hindia Timur Inggris bersimpati dengan masalah ini tetapi lama kemudian mereka mengabaikannya demi kepentingan kemajuan di Singapura. Menjelang tahun 1822, sudah jelas niat Inggris bahwa mereka tidak akan sekali-kali menyerahkan .

    Status Singapura sebagai hak milik Inggris dikukuhkan dengan ditandatanganinya Perjanjian Inggris-Belanda 1824 yang mana Kepulauan Melayu terbagi atas pengaruh dua kuasa. Kawasan utara termasuk Pulau Pinang, Melaka dan Singapura sebagai kawasan pengaruh Inggris sedangkan kawasan di sebelah selatan di bawah pengaruh Belanda. Pada tahun 1826, Singapura bersama-sama dengan Pulau Pinang dan Melaka tergolong di bawah satu pemerintahan yaitu Negeri-Negeri Selat.

    Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)

    Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour. Salah satu tujuan Jepang adalah untuk menguasai Asia Tenggara ialah karena faktor ekonomi. Singapura yang merupakan pangkalan utama Militer Sekutu adalah sasaran utama Jepang.

    Di Singapura banyak yang beranggapan bahwa Jepang akan menyerangnya terlebih dahulu sebelum menyerang Malaya. Pihak Inggris bersedia saat menyediakan antara kontingen perang terbaiknya. Hal ini termasuk pengantaran kapal perang HMS Prince of Wales dan kapal perang HMS Repulse. Mereka juga mengantar beberapa kapal perang yang lain.

    Pada 8 Desember 1941, tentara Jepang mendarat di Kota Bharu, Kelantan. Selepas dua hari laskar-laskar Jepang mendarat, kapal Prince of Wales dan kapal Repulse tenggelam akibat dimusnahkan oleh tentara Jepang. Tentara Jepang terus maju ke seluruh Tanah Melayu menyebabkan tentara Inggris terpaksa mundur ke selatan ke Singapura. Menjelang 31 Januari 1942, selepas 55 hari bermulanya penyerangan tentara Jepang, tentara Jepang sudah berhasil menguasai keseluruhan Tanah Melayu dan bersiap sedia untuk menyerang Singapura.

    Selepas beberapa pertempuran, Letnan-Jenderal Arthur Ernest Percival dan laskar-laskar Inggris menyerah kalah kepada Jenderal Yamashita Tomoyuki pada Tahun Baru Imlek yaitu 15 Februari 1942. Lebih kurang 130.000 laskar India, Australia dan Inggris menjadi tahanan perang. Jatuhnya merupakan penyerahan kalah terbesar British dalam sejarah.

    kemudian dinamakan menjadi Syonan-to (昭南島 Shōnan-tō, “Cahaya Selatan) dalam bahasa Jepang. Singapura diduduki oleh Jepang dari tahun 1942 hingga tahun 1945.

    Pemerintahan Sendiri (1955-1963)

    Ketua Front Buruh, David Marshall, menjadi Ketua Menteri yang pertama. Dia memerintah sebuah pemerintahan yang tidak stabil dan mengakibatkan terjadinya peristiwa mogok besar-besaran. Pada bulan April 1956, dia ke London untuk berbincang mengenai kemerdekaan Singapura tetapi tidak berhasil karena pengaruh komunis di Singapura. Marshall terus menekan Inggris bahwa dia akan meletakkan jabatan sekirannya Inggris tidak memberi kemerdekaan kepada Singapura. Tetapi Inggris langsung tidak menghiraukan gugatan Marshall dan akhirnya dia terpaksa melepaskan jabatannya. Ketua Menteri Singapura seterusnya ialah Lim Yew Hock. Ia mengambil tindakan yang tegas terhadap ketua-ketua kesatuan sekerja dan anggota-anggota pro-komunis.

    Tindakan tegas Lim menyebabkan Inggris setuju untuk memberikan pemerintahan sendiri kepada Singapura.

    Membentuk Persekutuan Malaysia (1963-1965)

    Pada 16 September 1963, Inggris setuju untuk menyerahkan Singapura, Sabah, dan Sarawak untuk bergabung dengan Persekutuan Tanah Melayu supaya Federasi Malaysia dapat dibentuk. Selepas menyertai Malaysia, partai politik utama Singapura yaitu People’s Action Party memenangi Pemilu Singapura. Tindakan PAP yang sering menyuarakan ketidakpuasan mengenai keistimewaan kaum Bumiputera.

    Banyak anggota United Malays National Organisation mendesak Pemerintah Federasi supaya menangkap Lee Kuan Yew. Jadi pada 7 Agustus 1965, Tunku Abdul Rahman Putra membuang Singapura dari Malaysia. Banyak rakyat Malaysia menganggap tindakan Tunku Abdul Rahman ini sebagai satu kerugian karena menurut mereka banyak lagi cara lain untuk menjaga keamanan Singapura.

    Pada masa inilah terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. 3 marinir Indonesia, yakni Harun Thohir, Usman Janatin, dan Gani bin Arup meledakkan MacDonald House di Singapura pada tahun 1965. Mereka melarikan diri, namun 2 orang di antara mereka, yakni Harun dan Usman dapat ditangkap dan 3 tahun kemudian dihukum gantung meskipun Indonesia sudah memintakan pengampunan, sebab pada tahun 1968 itu Presiden Soekarno sudah jatuh dan digantikan Soeharto yang pada saat itu didukung Negara Barat yang tidak perlu dikhawatirkan Lee Kuan Yew.

    Republik Singapura (1965-sekarang)

    Pada tahun 1990, Lee Kuan Yew mundur dari politik dan memberi kuasa pemerintahan kepada Goh Chok Tong. Pada tahun 2004 pula, Goh Chok Tong meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri dan memberi jalur kepada anak Lee Kuan Yew yaitu Lee Hsien Loong untuk memerintah.

  • KEMERDEKAAN MALAYSIA

    KEMERDEKAAN MALAYSIA

    Malaysia terletak di jalur laut strategis yang menghadapkannya ke perdagangan global, dan berbagai kebudayaan. Sebenarnya, nama “Malaysia” adalah konsep modern, dan dibuat pada paruh kedua abad ke-20. Namun, kontemporer Malaysia menganggap seluruh sejarah Malaya dan Borneo, yang membentang ribuan tahun yang lalu ke zaman prasejarah, sebagai sejarahnya sendiri, dan oleh karena itu, dibahas di halaman ini.

    Catatan Barat tentang awal daerah ini terdapat di buku Ptolemy, Geographia, yang menyebutkan “Golden Khersonese” (Semenanjung Emas), dan sekarang diidentifikasi sebagai Semenanjung Malaya.Hindu dan Budha yang berasal dari India dan Tiongkok mendominasi sejarah regional awal, dan mencapai puncaknya selama pemerintahan peradaban Sriwijaya yang berbasis di Sumatra, yang di mana pengaruhnya meluas hingga ke Sumatra, Jawa Barat, Borneo Timur dan Semenanjung Malaya dari abad ke-7 hingga ke-13.

    Meskipun Muslim telah memasuki Semenanjung Malaya pada awal abad ke-10, baru pada abad ke-14, Islam pertama kali memantapkan dirinya. Adopsi Islam pada abad ke-14 telah memunculkan beberapa kesultanan, dan yang paling menonjol adalah Kesultanan Malaka dan Kesultanan Brunei. Islam memiliki pengaruh besar pada suku Melayu dan sebagian besar telah dipengaruhi oleh mereka. Portugis adalah kekuatan kolonial pertama yang memantapkan diri mereka di Semenanjung Malaya dan Asia Tenggara, merebut Malaka pada tahun 1511, dan diikuti oleh Belanda pada tahun 1641. Namun, Inggris, yang awalnya membangun pangkalan di Jesselton, Kuching, Penang, dan Singapura, akhirnya dapat mengamankan hegemoni mereka di seluruh wilayah yang sekarang disebut Malaysia. Perjanjian Inggris-Belanda 1824 mendefinisikan batas-batas antara Malaya Britania dan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Di sisi lain, Perjanjian Inggris-Siam 1909 mendefinisikan batas-batas antara Malaya Britania dan Siam (sekarang Thailand). Fase keempat pengaruh asing adalah imigrasi pekerja Tionghoa dan India untuk memenuhi kebutuhan yang diciptakan oleh ekonomi kolonial di Semenanjung Malaya dan Borneo.

    Invasi Jepang selama Perang Dunia II mengakhiri kekuasaan Britania di Malaya. Pendudukan Malaya, Borneo Utara, dan Sarawak berikutnya dari tahun 1942 hingga 1945 melepaskan gelombang nasionalisme. Setelah Jepang di Malaya menyerah karena dikalahkan oleh Sekutu, Uni Malaya didirikan pada tahun 1946 oleh pemerintah Britania tetapi setelah ditentang oleh etnis Melayu, uni itu direorganisasi sebagai Federasi Malaya pada tahun 1948 dan dijadikan sebagai negara protektorat hingga tahun 1957. Di Semenanjung, Partai Komunis Malaya mengangkat senjata melawan Britania, dan ketegangan mengarah pada deklarasi pemerintahan darurat selama 12 tahun dari tahun 1948 hingga 1960. Tanggapan militer yang serius terhadap pemberontakan komunis serta Perundingan Baling pada tahun 1955, mengarah pada pembentukan kemerdekaan untuk Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1957 melalui negosiasi diplomatik oleh Britania. Tunku Abdul Rahman menjadi Perdana Menteri pertama Malaysia. Pada tahun 1960, penghentian darurat terjadi ketika ancaman komunis menurun dan penarikan mereka ke perbatasan antara Malaysia dan Thailand.

    Pada tanggal 16 September 1963, Federasi Malaysia dibentuk setelah penggabungan Federasi Malaya, Singapura, Sarawak, dan Borneo Utara (Sabah). Sekitar dua tahun kemudian, Parlemen Malaysia mengeluarkan RUU tanpa persetujuan penandatanganan Perjanjian Malaysia 1963 untuk memisahkan Singapura dari Federasi. Konfrontasi dengan Indonesia terjadi pada awal 1960-an. Kerusuhan Rasial pada tahun 1969 membawa ke pengenaan aturan darurat, penangguhan parlemen, pembentukan Majelis Gerakan Negara (MAGERAN), dan proklamasi Rukun Negara oleh MAGERAN pada tahun 1970 yang menjadi filosofi nasional dalam mempromosikan persatuan diantara warga negara. Kebijakan Ekonomi Baru juga diadopsi pada tahun 1971 dan digunakan hingga tahun 1991 yang gunanya untuk memberantas kemiskinan dan merestrukturisasi masyarakat untuk menghilangkan identifikasi ras dengan fungsi ekonomi. Kebijakan ini dilanjutkan dengan Kebijakan Pembangunan Nasional dari tahun 1991 hingga 2000.

    Sejak 1970, koalisi Barisan Nasional yang dipimpin oleh Organisasi Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO) telah memerintah Malaysia hingga kekalahannya dalam pemilihan umum Malaysia 2018 dari koalisi Pakatan Harapan. Mahathir Mohamad, yang pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri dari tahun 1981 hingga 2003, dikenal atas berbagai kebijakan dan proyek yang mengubah wajah Malaysia. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui kebijakan industri dan modernisasi. Mahathir memperkenalkan berbagai proyek besar seperti Menara Kembar Petronas, sistem jalan tol, dan Koridor Raya Multimedia, yang semuanya bertujuan menjadikan Malaysia sebagai negara maju.

    Pada tahun 2015, Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Razak dituduh menyalurkan lebih dari RM 2,67 Miliar (sekitar USD 700 juta) ke rekening bank pribadinya dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah perusahaan pengembangan strategis yang dikelola pemerintah dan didalangi oleh Low Taek Jho. Pencabutan dakwaan memicu kemarahan yang meluas di kalangan rakyat Malaysia,dengan banyak yang menyerukan pengunduran diri Najib Razak. Di antara kritikus Najib ialah politisi Mahathir Mohamad, yang kemudian mengalahkan Najib dalam pemilihan umum 2018 dan kembali berkuasa.

    Pada Februari 2020, krisis politik baru-baru ini di Malaysia dimulai ketika koalisi Pakatan Harapan jatuh dan anggota partai BERSATU, BN, PAS, GPS, dan GBS bersatu untuk membentuk pemerintahan bernama Perikatan Nasional yang dipimpin oleh pemimpin BERSATU, Muhyiddin Yassin.

     

    Prasejarah

    Kapak genggam batu dari hominoid awal, kemungkinan Homo Erectus, telah ditemukan di Lenggong. Mereka berasal dari 1,83 juta tahun yang lalu, bukti tertua tempat tinggal hominid di Asia Tenggara. Bukti paling awal dari tempat tinggal manusia modern di Malaysia adalah tengkorak berusia 40.000 tahun yang digali dari Gua Niah di Sarawak saat ini, yang dijuluki “Tengkorak Dalam”. Itu digali dari parit dalam yang ditemukan oleh Barbara dan Tom Harrison (seorang etnolog Britania) pada tahun 1958. Ini juga merupakan tengkorak manusia modern tertua di Asia Tenggara. Tengkorak itu mungkin milik seorang gadis remaja berusia 16 hingga 17 tahun. Para pemburu pertama mengunjungi Mulut Barat Gua Niah (terletak 110 kilometer (68 mil) barat daya Miri) 40.000 tahun yang lalu ketika Borneo terhubung dengan daratan Asia Tenggara. Pemandangan di sekitar Gua Niah lebih kering dan lebih terbuka daripada sekarang. Secara prasejarah, Gua Niah dikelilingi oleh kombinasi hutan tertutup dengan semak belukar, taman, rawa, dan sungai. Para pemburu dapat bertahan hidup di hutan hujan melalui berburu, memancing, dan mengumpulkan moluska serta tanaman yang dapat dimakan. Situs pemakaman Mesolitikum dan Neolitikum juga telah ditemukan di daerah tersebut. Daerah di sekitar Gua Niah telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Niah.

    Sebuah studi tentang genetika Asia menunjukkan gagasan bahwa manusia asli di Asia Timur berasal dari Asia Tenggara.Kerangka lengkap tertua yang ditemukan di Malaysia adalah Manusia Perak berusia 11.000 tahun yang digali pada tahun 1991 Kelompok pribumi di semenanjung dapat dibagi menjadi tiga etnis, Negrito, Senoi, dan proto-Melayu.Penghuni pertama Semenanjung Malaya kemungkinan besar adalah Orang Negrito. Para pemburu Mesolitikum ini kemungkinan merupakan nenek moyang dari Semang, kelompok etnis Negrito yang memiliki sejarah panjang di Semenanjung Malaya.

    Suku Senoi tampaknya merupakan kelompok komposit, dengan kira-kira setengah dari garis keturunan DNA Mitokondria ibu menelusuri kembali ke nenek moyang Semarang, dan sekitar setengah dari migrasi leluhur kemudian dari Indochina. Para ahli berpendapat bahwa mereka adalah keturunan dari ahli pertanian berbahasa Austroasiatik awal, yang membawa bahasa dan teknologi mereka ke bagian selatan semenanjung sekitar 4.000 tahun yang lalu. Mereka bersatu dan bergabung dengan penduduk asli

     

    Proto Melayu memiliki asal usul yang lebih beragam dan telah menetap di Malaysia pada 1000 SM sebagai akibat dari ekspansi Austronesia. Meskipun mereka menunjukkan beberapa hubungan dengan penduduk lain di Maritim Asia Tenggara, beberapa juga memiliki nenek moyang di Indochina sekitar waktu Maksimum Glasial Terakhir sekitar 20.000 tahun yang lalu. Antropolog mendukung gagasan bahwa Proto-Melayu berasal dari tempat yang sekarang disebut Yunnan, Tiongkok.Hal ini diikuti oleh penyebaran Holosen awal melalui Semenanjung Malaya ke Kepulauan Melayu. Sekitar 300 SM, mereka didorong ke daratan oleh Deutero-Melayu, orang Zaman Besi atau Zaman Perunggu yang sebagian diturunkan dari Suku Cham Kamboja dan Vietnam. Kelompok pertama di semenanjung yang menggunakan peralatan logam, Deutro-Melayu adalah nenek moyang langsung dari Melayu Malaysia saat ini, dan membawa serta teknik pertanian yang canggih. Orang Melayu tetap terfragmentasi secara politik di seluruh kepulauan Melayu, meskipun budaya dan struktur sosial yang umum dimiliki bersama

    Kerajaan Hindu-Buddha Awal

    Pada milenium pertama Masehi, Melayu menjadi etnis yang dominan di semenanjung. Negara-negara kecil awal yang didirikan sangat dipengaruhi oleh budaya India, seperti sebagian besar Asia Tenggara.Pengaruh India di wilayah tersebut setidaknya sudah ada sejak abad ke-3 SM. Budaya India Selatan disebarkan ke Asia Tenggara oleh dinasti Pallawa India selatan pada abad ke-4 dan ke-5.

     

    Perdagangan dengan India dan Tiongkok

    Dalam literatur India kuno, istilah Suvarnadvipa (Semenanjung Emas) digunakan dalam Ramayana, dan beberapa berpendapat bahwa itu mungkin merujuk ke Semenanjung Malaya. Teks India kuno, Vayu Purana juga menyebutkan sebuah tempat bernama Malayadvipa di mana tambang emas dapat ditemukan, dan istilah ini telah diusulkan yang merujuk kemungkinan berarti Sumatra dan Semenanjung Malaya. Semenanjung Malaya ditampilkan di peta Ptolemy sebagai Golden Khersonese. Ia menyebut Selat Malaka sebagai Sinus Sabaricus.

    Hubungan dagang dengan Tiongkok dan India telah terjalin pada abad ke-1 SM. Pecahan tembikar Tiongkok telah ditemukan di Borneo yang berasal dari abad ke-1 setelah ekspansi Dinasti Han ke selatan. Pada abad-abad awal milenium pertama, orang-orang di Semenanjung Malaya menganut agama India yaitu Hindu dan Budha, agama-agama yang berpengaruh besar terhadap bahasa dan budaya mereka yang tinggal di Malaysia. Sistem penulisan Sansekerta digunakan sejak abad ke-4.

    Kerajaan Awal (abad ke-3 hingga ke-7)

    Ada banyak kerajaan Melayu pada abad ke-2 dan ke-3, sebanyak 30 kerajaan, terutama yang berbasis di sisi timur semenanjung Malaya. Di antara kerajaan paling awal yang diketahui berbasis di Semenanjung Malaya adalah kerajaan kuno Langkasuka, yang terletak di Semenanjung Malaya bagian utara dan berbasis di suatu tempat di pantai barat. Itu terkait erat dengan Funan di Kamboja, yang juga menguasai bagian utara Malaysia hingga abad ke-6. Pada abad ke-5, Kerajaan Pahang disebutkan dalam Kitab Song. Menurut Sejarah Melayu (“Sulalatus Salatin”), pangeran Khmer, Raja Ganjil Arjuna mendirikan kerajaan Gangga Negara (sekarang Beruas, Perak) pada tahun 700-an. Kronik Tiongkok dari abad ke-5 M berbicara tentang sebuah pelabuhan besar di selatan yang disebut Guantoli, yang diperkirakan berada di Selat Malaka. Pada abad ke-7, sebuah pelabuhan baru yang disebut Shelifoshe disebutkan, dan ini diyakini sebagai terjemahan bahasa Tionghoa dari Sriwijaya

     

    Gangga Negara

    Gangga Negara diyakini sebagai kerajaan Hindu semi-legendaris yang hilang, dan disebutkan dalam Sejarah Melayu yang mencakup Beruas, Dinding, dan Manjung saat ini di negara bagian Perak, Malaysia dengan Raja Gangga Syah Johan sebagai salah satu rajanya. Gangga Negara berarti “sebuah kota di Sungai Gangga” dalam bahasa Sansekerta, dan merupakan nama yang berasal dari Ganganagar di barat laut India, di mana masyarakat Kamboja mendiami. Para peneliti percaya bahwa kerajaan tersebut berpusat di Beruas. Sejarah Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa yang disebut juga sebagai Sejarah Kedah, menyebut bahwa Gangga Negara mungkin didirikan oleh putra Merong Mahawangsa, Raja Ganjil Arjuna dari Kedah, paling lambat pada abad ke-2. Raja Ganjil Arjuna diduga sebagai keturunan Alexander Agung atau oleh keluarga kerajaan Khmer.

    Penelitian pertama tentang kerajaan Beruas dilakukan oleh Kolonel James Low pada tahun 1849, dan seabad kemudian, dilanjutkan oleh H.G. Quaritch Wales. Menurut Departemen Museum dan Purbakala, kedua peneliti sepakat bahwa kerajaan Gangga Negara muncul di antara abad ke-1 hingga ke-11, tetapi tidak dapat memastikan lokasi tepatnya.Selama bertahun-tahun, penduduk desa telah menggali artefak yang diyakini berasal dari kerajaan kuno, yang sebagian besar saat ini dipajang di Museum Beruas. Artefak yang dipamerkan antara lain meriam seberat 128 kg, pedang, keris, koin, timah batangan, tembikar dari Dinasti Ming, dan dari berbagai era lainnya, serta guci besar. Artefak-artefak tersebut berasal dari abad ke-5 dan ke-6

     

    Kedah Tua

    Di Kedah, ada peninggalan yang menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha yang telah dikenal selama sekitar satu abad dari penemuan yang dilaporkan oleh Kol. Low, dan baru-baru ini menjadi sasaran penyelidikan yang cukup lengkap oleh Quaritch Wales. Wales menyelidiki setidaknya 30 situs di sekitar Kedah.

    Sebuah bar batu bertulis yang berbentuk persegi panjang, memuat formula ye-dharmma dalam aksara Pallawa pada abad ke-7. Isinya menyatakan karakter Buddhis dari kuil, yang di mana ruang bawah tanah pada kuil tersebut masih bertahan

     

    Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13)

    Antara abad ke-7 dan ke-13, sebagian besar Semenanjung Malaka berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Lokasi pusat Sriwijaya diperkirakan berada di muara sungai, tepatnya di Sumatra bagian timur, dan lokasi ini sekarang disebut Palembang, di Indonesia. Selama lebih dari enam abad, Maharaja Sriwijaya telah memerintah sebuah kerajaan maritim yang menjadi kekuatan utama di Nusantara. Kerajaan ini berbasis di sektor perdagangan, dengan raja-khaja lokal “pekon” (dhatu atau tokoh masyarakat), bersumpah setia kepada penguasa tertinggi di tingkat pusat demi keuntungan bersama. Kedatuan dengan sebutan lain sebagai kerajaan pada abad ke-13 Masehi dengan raja terakhir Sriwijaya Ratu Sekerummong Monarki dari tahun 1280 M hingga 1288 Masehi pada tahun 1289 M kerajaan maritim tersebut dengan lafal kepaksian

     

    Hubungan dengan Kerajaan Chola

    Hubungan antara Sriwijaya dan Kerajaan Chola di India Selatan bersahabat pada masa pemerintahan Raja Raja Chola I, tetapi pada masa pemerintahan Rajendra Chola I, Kerajaan Chola menyerbu kota-kota Sriwijaya. Pada tahun 1025 dan 1026, Gangga Negara diserang oleh Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola, raja Tamil yang kini diperkirakan telah menghancurkan Kota Gelanggi. Kedah (dikenal sebagai Kadaram dalam bahasa Tamil) diserbu oleh Chola pada tahun 1025. Invasi kedua dipimpin oleh Virarajendra Chola dari dinasti Chola, yang di mana dia berhasil menaklukkan Kedah pada akhir abad ke-11.n Penerus senior Chola, Vira Rajendra Chola, harus menumpas pemberontakan Kedah untuk menggulingkan penyerbu lainnya. Kedatangan Chola telah mengurangi keagungan Sriwijaya, yang di mana Sriwijaya telah memberikan pengaruh atas Kedah, Pattani, hingga ke Ligor. Selama pemerintahan Kulothunga Chola I, kekuasaan Chola didirikan di atas Kedah, provinsi Sriwijaya pada akhir abad ke-11.Ekspedisi para Raja Chola memiliki kesan yang begitu besar kepada rakyat Melayu pada periode abad pertengahan sehingga nama mereka disebutkan dalam bentuk yang buruk sebagai Raja Chulan, seperti yang dinyatakan dalam kronik Melayu abad pertengahan, Sejarah Melayu. Bahkan hingga hari ini, pemerintahan Chola tetap dikenang di Malaysia karena banyak pangeran Malaysia memiliki nama yang diakhiri dengan Cholan atau Chulan, salah satunya adalah Raja Perak yang dipanggil dengan nama Raja Chulan.

    Pattinapalai, sebuah puisi Tamil pada abad ke-2 M, menggambarkan barang-barang dari Kadaram yang ditumpuk di jalanan lebar ibukota Chola. Sebuah drama India pada abad ke-7, Kaumudhimahotsva, menyebut Kedah sebagai Kataha-nagari. Agnipurana juga menyebutkan sebuah wilayah yang dikenal sebagai Anda-Kataha dengan salah satu batasnya dibatasi oleh sebuah puncak. Para sarjana meyakini bahwa puncak tersebut adalah Gunung Jerai. Kisah-kisah dari Katasaritasagaram menggambarkan kehidupan yang anggun di Kataha. Kerajaan Buddha, yaitu Kerajaan Ligor mengambil alih Kedah tak lama setelah itu. Raja Chandrabhanu menggunakannya sebagai pangkalan untuk menyerang Sri Lanka pada abad ke-11, dan memerintah bagian utara; peristiwa tersebut tercatat dalam prasasti batu di Nagapattinum, tepatnya di Tamil Nadu, dan dalam kronik Sri Lanka, Mahawamsa

     

    Kemunduran dan pembubaran Sriwijaya

    Kadang kala, kerajaan Khmer, kerajaan Siam, dan bahkan kerajaan Chola mencoba menguasai negara-negara Melayu yang lebih kecil. Kekuasaan Sriwijaya mulai menurun sejak abad ke-12 karena hubungan antara ibukota, dan pengikutnya terputus. Peperangan dengan Jawa menyebabkan Sriwijaya meminta bantuan dari Tiongkok, dan peperangan dengan negara-negara India juga dicurigai. Pada abad ke-11, pusat kekuasaan bergeser ke Malayu, sebuah pelabuhan yang mungkin letaknya lebih jauh di pesisir Sumatera dekat Sungai Jambi. Kekuasaan Maharaja Buddha tersebut semakin menurun oleh penyebaran Islam. Daerah-daerah yang masuk Islam lebih awal, seperti Aceh, memisahkan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Pada akhir abad ke-13, raja-raja Siam dari Kerajaan Sukhothai telah menguasai sebagian besar Malaysia di bawah kekuasaan mereka. Pada abad ke-14, kerajaan Majapahit menguasai semenanjung tersebut.

    Penggalian yang dilakukan oleh Tom Harrisson pada tahun 1949 menemukan serangkaian keramik Tiongkok di Santubong (dekat Kuching) yang berasal dari dinasti Tang dan Song. Ada kemungkinan bahwa Santubong adalah pelabuhan penting di Sarawak selama periode tersebut, tetapi kepentingannya menurun selama Dinasti Yuan, dan pelabuhan tersebut kosong selama Dinasti Ming.Situs arkeologi lainnya di Sarawak dapat ditemukan di dalam distrik Kapit, Song, Serian, dan Bau di Sarawak.

    Menurut Sejarah Melayu, seorang penguasa baru bernama Sang Sapurba dipromosikan sebagai mandala Sriwijaya yang baru. Konon, setelah naik tahta ke Bukit Siguntang bersama kedua adik laki-lakinya, Sang Sapurba mengadakan perjanjian suci dengan Demang Lebar Daun, penguasa asli Palembang. Penguasa yang baru dilantik tersebut kemudian turun dari bukit Seguntang ke dataran besar Sungai Musi, di mana ia menikahi Wan Sendari, putri dari kepala daerah, Demang Lebar Daun. Sang Sapurba dikatakan pernah memerintah di tanah Minangkabau.

    Pada tahun 1324, pangeran Sriwijaya yang bernama Sang Nila Utama mendirikan Kerajaan Singapura (Temasek). Menurut tradisi, Sang Nila Utama memiliki hubungan dengan Sang Sapurba. Sang Nila Utama memegang kendali atas Temasek selama 48 tahun. Sang Nila Utama diakui sebagai penguasa atas Temasek oleh utusan Kaisar Tiongkok pada sekitar tahun 1366. Ia kemudian digantikan oleh putranya, Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372–1386), dan kemudian oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386–1399). Pada tahun 1401, penguasa terakhir, Paduka Sri Maharaja Parameswara, diusir dari Temasek oleh pasukan dari Majapahit atau Ayutthaya. Ia kemudian menuju ke utara, dan mendirikan Kesultanan Malaka pada tahun 1402.:245–246 Kesultanan Malaka berhasil menggantikan Kerajaan Sriwijaya sebagai entitas politik Melayu di Nusantara

    Kebangkitan negara-negara Muslim

    Islam masuk ke Kepulauan Melayu melalui para pedagang Arab dan India pada abad ke-13, dan sekaligus mengakhiri zaman Hindu-Buddha. Islam tiba di wilayah tersebut secara bertahap, dan menjadi agama para elit setempat sebelum menyebar ke rakyat jelata. Bentuk sinkretis Islam di Malaysia dipengaruhi oleh agama-agama sebelumnya, dan pada mulanya tidak ortodoks

     

    Kesultanan Malaka

     

    Pembentukan

    Pelabuhan Malaka di pesisir barat Semenanjung Malaya didirikan pada tahun 1400 oleh Parameswara, seorang pangeran Sriwijaya yang melarikan diri dari Temasek (sekarang Singapura). Parameswara secara khusus berlayar ke Temasek untuk menghindari penganiayaan. Di sana, ia berada di bawah perlindungan Temagi, seorang kepala suku Melayu dari Patani, yang diangkat oleh raja Siam sebagai bupati Temasek. Dalam beberapa hari, Parameswara membunuh Temagi, dan mengangkat dirinya sendiri menjadi bupati. Sekitar lima tahun kemudian, ia terpaksa harus meninggalkan Temasek karena ancaman dari Siam. Selama periode ini, armada Jawa dari Majapahit menyerang Temasek

    Parameswara menuju ke utara untuk menemukan pemukiman baru. Di Muar, Parameswara mempertimbangkan untuk menempatkan kerajaan barunya di Biawak Busuk atau di Kota Buruk. Menemukan bahwa lokasi Muar tidak sesuai, ia melanjutkan perjalanannya ke utara. Sepanjang jalan, ia dilaporkan mengunjungi Sening Ujong (nama sebelumnya dari Sungai Ujong sekarang) sebelum mencapai sebuah desa nelayan di muara Sungai Bertam (nama sebelumnya dari Sungai Melaka), dan mendirikan apa yang akan menjadi Kesultanan Malaka. Seiring waktu, kesultanan ini berkembang menjadi Kota Malaka modern. Menurut Sejarah Melayu, di tempat ini, Parameswara melihat seekor kancil sedang mengecoh seekor anjing yang sedang beristirahat di bawah pohon Malaka. Mengambil ini sebagai pertanda baik, ia memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan bernama Malaka. Ia kemudian membangun, dan meningkatkan fasilitas untuk perdagangan. Kesultanan Malaka secara umum dianggap sebagai negara merdeka pertama di semenanjung

    Pada tahun 1404, utusan perdagangan resmi Tiongkok pertama yang dipimpin oleh Laksamana Yin Qing tiba di Malaka. Kemudian, Parameswara dikawal oleh Cheng Ho, dan utusan lainnya dalam kunjungannya yang sukses. Hubungan Malaka dan Ming membuat Ming akhirnya memberikan perlindungan kepada Malaka dari serangan Siam dan Majapahit, dan Malaka secara resmi diserahkan sebagai protektorat Ming Tiongkok. Hal ini mendorong berkembangnya Malaka menjadi pemukiman perdagangan utama di jalur perdagangan antara Tiongkok dan India, Timur Tengah, Afrika, serta Eropa. Untuk mencegah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Siam dan Majapahit, Parameswara menjalin hubungan dengan Dinasti Ming dari Tiongkok untuk perlindungan. Menyusul terjalinnya hubungan ini, kemakmuran entrepôt Malaka kemudian dicatat oleh pengunjung pertama dari Tiongkok, Ma Huan, yang sedang melakukan perjalanan bersama Laksamana Cheng Ho.Di Malaka pada awal abad ke-15, Ming Tiongkok secara aktif berusaha mengembangkan pusat komersial, dan basis operasi untuk pelayaran harta karun mereka ke Samudra Hindia. Pada awalnya, Malaka merupakan wilayah yang relatif tidak penting, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai pemerintahan sebelum pelayaran mereka menurut Ma Huan dan Fei Xin, dan merupakan wilayah bawahan Siam. Pada tahun 1405, istana Ming mengirim Laksamana Cheng Ho dengan sebuah lempengan batu yang dihiasi Gunung Bagian Barat Malaka, serta perintah kekaisaran untuk mengangkat status pelabuhan tersebut menjadi sebuah negara. Tiongkok juga mendirikan depot pemerintah (官廠), sebagai benteng pertahanan bagi prajurit mereka. Ma Huan melaporkan bahwa Siam tidak berani menginvasi Malaka setelahnya. Para penguasa Malaka, seperti Parameswara pada tahun 1411, akan membayar upeti kepada kaisar Tiongkok secara langsung.

    Kaisar Dinasti Ming Tiongkok mengirimkan armada kapalnya untuk memperluas perdagangan. Laksamana Cheng Ho memanggil di Malaka, dan membawa Parameswara bersamanya sekembalinya ke Tiongkok, dan mengakui posisi Parameswara sebagai penguasa Malaka yang sah. Sebagai imbalan atas upeti regulernya, kaisar Tiongkok menawarkan perlindungan Malaka dari ancaman serangan dari Siam yang konstan. Karena letaknya yang strategis, Malaka menjadi tempat pemberhentian penting bagi armada Cheng Ho. Karena keterlibatan Tiongkok, Malaka telah tumbuh sebagai alternatif utama bagi pelabuhan-pelabuhan penting lainnya. Orang Tionghoa dan India yang menetap di Semenanjung Malaya sebelum dan selama periode ini adalah leluhur dari komunitas Baba-Nyonya dan Chitty saat ini. Menurut satu teori, Parameswara menjadi seorang Muslim ketika ia menikahi seorang Putri Pasai, dan dia mengambil gelar Persia “Syah”, dan menyebut dirinya sebagai Iskandar Syah. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1414, putra penguasa pertama Malaka mengunjungi kaisar Ming untuk memberitahu mereka bahwa ayahnya telah meninggal. Putra Parameswara kemudian secara resmi diakui sebagai penguasa kedua Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan bergelar Raja Sri Rama Vikrama, Raja Parameswara dari Temasek dan Malaka, dan ia dikenal oleh rakyat Muslimnya sebagai Sultan Sri Iskandar Zulkarnain Syah (Megat Iskandar Syah). Ia memerintah Malaka dari tahun 1414 hingga 1424. Melalui pengaruh Muslim India, dan juga pada tingkat yang lebih rendah, yaitu orang Hui dari Tiongkok, Islam menjadi semakin umum selama abad ke-15.

    Kebangkitan Malaka

    Setelah awalnya membayar upeti kepada Ayutthaya, kerajaan dengan cepat mengambil alih tempat yang sebelumnya dipegang oleh Sriwijaya, membangun hubungan independen dengan Tiongkok, dan memanfaatkan posisinya yang mendominasi Selat untuk mengendalikan perdagangan maritim Tiongkok-India, yang menjadi semakin penting ketika penaklukan Mongol menutup rute darat antara Tiongkok dengan barat.

    Dalam beberapa tahun berdirinya, Malaka secara resmi memeluk Islam. Parameswara kemudian menjadi seorang Muslim, dan karena Malaka berada di bawah pemerintahan seorang pangeran Muslim, maka konversi orang Melayu ke Islam meningkat pesat pada abad ke-15. Kekuatan politik Kesultanan Malaka membantu penyebaran Islam meningkat pesat ke seluruh Nusantara. Malaka merupakan pusat perdagangan dan komersial yang penting selama periode ini, dan mampu menarik perdagangan dari seluruh wilayah. Pada awal abad ke-16, dengan Kesultanan Malaka di semenanjung Malaya dan sebagian Sumatera, Kesultanan Demak di Jawa,dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Kepulauan Melayu telah masuk Islam.Islam telah menjadi agama dominan di kalangan orang Melayu, dan Islam akhirnya juga telah mencapai wilayah apa yang sekarang disebut Filipina, sehingga meninggalkan Bali sebagai satu-satunya pulau yang beragama Hindu hingga kini. Pemerintahan Malaka didasarkan pada sistem feodal.

    Pemerintahan Malaka berlangsung sedikit lebih dari satu abad, tetapi selama periode ini, Malaka telah menjadi pusat mapan budaya Melayu. Sebagian besar negara Melayu di masa depan berasal dari periode ini. Malaka akhirnya menjadi pusat budaya, dan menciptakan matriks budaya Melayu modern: perpaduan unsur-unsur Melayu asli dengan budaya India, Tiongkok, serta Islam. Busana Malaka dalam sastra, seni, musik, tarian, dan pakaian, serta hiasan gelar istana kerajaannya, mulai dilihat sebagai standar bagi semua etnis Melayu. Istana Malaka juga memberikan prestise besar kepada bahasa Melayu, yang pada awalnya berkembang di Sumatra, dan dibawa ke Malaka pada saat pendiriannya. Belakangan ini, bahasa Melayu telah menjadi bahasa resmi semua negara bagian Malaysia, meskipun bahasa lokal masih bertahan di banyak tempat. Setelah kejatuhan Malaka, Kesultanan Brunei kemudian menjadi pusat utama agama Islam

    Transformasi Malaysia setelah kemerdekaan

    Sejak kemerdekaannya dari Inggris pada 31 Agustus 1957, Malaysia telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Di bawah kepemimpinan Tunku Abdul Rahman, yang dikenal sebagai “Bapak Kemerdekaan,” Malaysia mencapai kemerdekaannya dan kemudian membentuk Federasi Malaysia pada tahun 1963 dengan menggabungkan Malaya, Sabah, Sarawak, dan Singapura (yang keluar pada tahun 1965).

    Selama tahun-tahun awal kemerdekaan, Malaysia fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Pada tahun 1981, Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri dan membawa era baru modernisasi dan industrialisasi. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia bertransformasi dari negara agraris menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di Asia Tenggara. Salah satu simbol paling menonjol dari pembangunan era ini adalah Menara Kembar Petronas di Kuala Lumpur, yang selesai dibangun pada tahun 1998. Menara ini menjadi ikon kemajuan Malaysia dan salah satu bangunan tertinggi di dunia pada saat itu. Mahathir menjabat hingga tahun 2003 dan kembali sebagai Perdana Menteri dari tahun 2018 hingga 2020, terus mendorong kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.

    Sejak itu, Malaysia terus berkembang dengan fokus pada diversifikasi ekonomi, pembangunan teknologi, dan peningkatan kualitas hidup rakyatnya. Meskipun menghadapi tantangan politik dan ekonomi, negara ini tetap menjadi pemain penting di kawasan Asia Tenggara.

  • Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ,Chairul Basri, yang bekerja pada kantor propaganda Jepang, disuruh mencari rumah yang berhalaman luas. Rumah Pegangsaan Timur 56 milik orang Belanda ditukar dengan rumah lain di Jalan Lembang. Jadi rumah itu memang disiapkan Jepang untuk Bung Karno. Chairul tidak menyebut nama pemilik rumah itu. Saat diambil alih pemerintah Jepang untuk Sukarno, rumah itu milik Mr. Jhr. P.R. Feith seperti disebut Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi koran Sin Po dari 1925 sampai 1947, dalam Doea Poeloe Lima Tahon Sebagai Wartawan, 1922–1947 (1948).

    Dari pemberitaan di koran Sin Po 5 Juli 1948 diketahui bahwa rumah tersebut merupakan rumah bersejarah bagi bangsa Indonesia karena menjadi tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Rumah tersebut juga pernah dipakai sebagai rumah pertemuan. Belanda juga pernah memfungsikan rumah tersebut sebagai rumah tawanan juga. Rumah itu pun berubah lagi menjadi Gedung Republik. Hingga akhirnya pemiliknya yang orang Belanda menjualnya seharga 250 ribu gulden (ƒ). Rumah ini akhirnya dibeli oleh pemerintah Indonesia. Begini bunyi pemberitaan tersebut:

    “Eigenaar (pemilik rumah) itoe roemah jang baroe sadja kombali dari Nederland telah menetapkan mendjoel miliknya dengan harga ƒ 250.000,- pada pemerintah repoeblik”

    Dari sini belum ditemukan bukti keterkaitan antara pembelian rumah oleh pemerintah Republik Indonesia di tahun 1948 dengan informasi sumbangan rumah Pegangsaan Timur 56 oleh Faradj Martak sebagaimana tertera di dalam surat Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, tanggal 14 Agustus 1950.

    Proklamasi yang dibacakan dari rumah Pegangsaan Timur 56 tersebut menandai dimulainya perlawanan diplomatik dan bersenjata dari Revolusi Nasional Indonesia, yang berperang melawan pasukan Belanda dan warga sipil pro-Belanda, hingga Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.

    Pada tahun 2005, Belanda menyatakan bahwa mereka telah memutuskan untuk menerima secara de facto tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Namun, pada tanggal 14 September 2011, pengadilan Belanda memutuskan dalam kasus pembantaian Rawagede bahwa Belanda bertanggung jawab karena memiliki tugas untuk mempertahankan penduduknya, yang juga mengindikasikan bahwa daerah tersebut adalah bagian dari Hindia Timur Belanda, bertentangan dengan klaim Indonesia atas 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaannya. Dalam sebuah wawancara tahun 2013, sejarawan Indonesia Sukotjo, meminta pemerintah Belanda untuk secara resmi mengakui tanggal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui tanggal 27 Desember 1949 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia.

    Naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno (yang menuliskan namanya sebagai “Soekarno” menggunakan ejaan Van Ophuijsen) dan Mohammad Hatta, yang kemudian ditunjuk sebagai presiden dan wakil presiden berturut-turut sehari setelah proklamasi dibacakan.

    Tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui keputusan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 18 Juni 1946

     

    Latar belakang

    ada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (disingkat BPUPK; Jepang: 独立準備調査会, Dokuritsu Junbi Chōsa-kai), berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat PPKI; Jepang: 独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iin-kai), untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, yang menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

    Soekarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI serta Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi, pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara dan putra mantan Perdana Menteri Terauchi Masatake. Mereka bertiga dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI.Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945.Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang

    Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan tim PPKI. Meskipun demikian, Terauchi menginginkan proklamasi diadakan pada 24 Agustus 1945. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak PPKI. Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang

    Pada tanggal 2 September 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada Sekutu di kapal USS Missouri. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

    Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Namun, kantor tersebut kosong.

    Soekarno dan Hatta bersama Achmad Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat dan menjawab bahwa ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari tempat Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10.00 pagi tanggal 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No. 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

    Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.

    Peristiwa Rengasdengklok

    Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) serta Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun resikonya.

    Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10.00 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda Tadashi untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia

    Penyusunan naskah Proklamasi

    Pada malam hari setelah Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno–Hatta yang diantar oleh Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat “bushido“, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Soekarno–Hatta lantas meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tahu. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

    Setelah dari rumah Nishimura, mereka menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No. 1) diiringi oleh Shunkichiro Miyoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno dan Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebardjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Sudiro. Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “transfer of power“. Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Melik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.

    Menurut sejarawan Benedict Anderson, kata-kata dan deklarasi proklamasi tersebut harus menyeimbangkan kepentingan kepentingan internal Indonesia dan Jepang yang saling bertentangan pada saat itu. Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dari pukul dua hingga empat dini hari. Setelah konsep selesai disepakati, Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia, dan Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut,  menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56  (sekarang Jalan Proklamasi Nomor 1).

     

    Pembacaan naskah proklamasi

    Pada pagi hari, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Mohammad Tabrani, dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Setelah itu, Sang Saka Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

    Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera, tetapi ia menolak dengan alasan pengibaran bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Monumen Nasional

    Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, tetapi ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka

    Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

    Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional

     

    Isi teks proklamasi

    Naskah Proklamasi Klad

    Proklamasi Klad adalah naskah asli proklamasi yang merupakan tulisan tangan sendiri oleh Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Hatta dan Achmad Soebardjo. Adapun perumus proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.

    Para pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah “penyerahan”, “dikasihkan”, diserahkan”, atau “merebut”. Akhirnya yang dipilih adalah “pemindahan kekuasaan”. Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.

    Berikut isi proklamasi tersebut:

    Proklamasi

    Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

    Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

    dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

    Djakarta, 17 – 8 – ’05

    Wakil2 bangsa Indonesia.

    Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992

    Naskah baru setelah mengalami perubahan

    Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah “Proklamasi Otentik“, adalah merupakan hasil ketikan Sayuti Melik, seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi, yang isinya adalah sebagai berikut:

    P R O K L A M A S I

    Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

    Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

    dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

    Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

    Atas nama bangsa Indonesia.

    Soekarno/Hatta.

    Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka “tahun 05” yang merupakan kependekan dari angka “tahun 2605“, karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah “tahun 2605”.

    Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik

    Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut:

    • Kata “Proklamasi” diubah menjadi “P R O K L A M A S I“,
    • Kata “Hal2” diubah menjadi “Hal-hal“,
    • Kata “tempoh” diubah menjadi “tempo“,
    • Kata “Djakarta, 17 – 8 – ’05” diubah menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05“,
    • Kata “Wakil2 bangsa Indonesia” diubah menjadi “Atas nama bangsa Indonesia“,
    • Isi naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
    • Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.

    Klip suara naskah yang dibacakan oleh Soekarno di studio RRI

    Tempat pembacaan teks naskah Proklamasi Otentik oleh Soekarno untuk pertama kali adalah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (hari yang diperingati sebagai “Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia“), pukul 11.30 waktu Nippon (sebutan untuk negara Jepang pada saat itu). Waktu Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara maupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.

    Suara asli dari Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli Soekarno yang direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4–5, Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah Proklamasi oleh Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro

    Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

    Berikut ini adalah teks pidato Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

    Saudara-saudara sekalian,

    Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.

    Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada baiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.

    Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.

    Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.

    Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawara dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

    Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:

    P R O K L A M A S I

    Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

    Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

    Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

    Atas nama bangsa Indonesia,

    Soekarno/Hatta.

     

    Penyebaran teks proklamasi

    Wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas, ditambah dengan hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar Jawa. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA), Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.

    Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

    Usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran, sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (de facto) melainkan tahun 1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (de jure)  sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia diserahkan kepada Sekutu, bukan dibebaskan oleh Jepang. Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI. Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi:

    • Teuku Mohammad Hassan dari Aceh,
    • Sam Ratulangi dari Sulawesi,
    • Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali),
    • A.A. Hamidan dari Kalimantan.

     

    Peringatan Hari Kemerdekaan

    Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Upacara militer dilaksanakan di Istana Merdeka. Sementara itu, beragam perlombaan dihadirkan seperti lomba panjat pinang dan makan kerupuk. Seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dengan caranya masing-masing.

     

    Peringatan detik-detik proklamasi

    Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh Presiden RI selaku Inspektur Upacara. Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara Proklamasi tahun 1945. Seremonial peringatan biasanya disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dan lain sebagainya. Pada sore hari sekitar pukul 17.00 terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.

     

    Kewajiban mengibarkan bendera

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang kewajiban mengibarkan bendera Merah Putih bagi setiap warga negara yang memiliki hak penggunaan rumah, gedung kantor, satuan pendidikan, transportasi publik dan transportasi pribadi di wilayah Indonesia, serta kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri pada tanggal 17 Agustus